Regulasi Pertembakauan
Indonesia
Melihat
lebih jauh terkait jauh dari perspektif kesehatan masyarakat Indonesia tentu
sudah jelas konsekuensi negatifnya, baik dalam konteks individual maupun
komunal. Ironisnya,jumlah orang yang mengkonsumsi rokok semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Hal tersebut terlihat dari produksi rokok yang hanya sekitar 30
miliar batang pada tahun 1970-an menjadi 240 miliar atau naik sekitar 800% pada
tahun 2009. Kemudian, pada tahun 1995 pecandu rokok hanya 27%, namun 15 tahun
kemudian meningkat drastis menjadi 34% atau setara dengan 80 juta jwa yang
menjadi korban dari permainan industri rokok. Artinya, satu dari tiga orang di
Indonesia adalah perokok (Riskesdas, 2010). Melambung tingginya angka ini
menjadikan Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbanyak
setalah China dan India. Sungguh sangat memprihatinkan.
Riset
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2006 pun memperlihatkan pola
peningkatan serupa. Terdapat 24,5% buyung dan 2,3%(usia 13-15 tahun) upik
Indonesia perokok. Belum lagi rata-rata tarif cukai rokok di Indonesia tahun
2010 sangat jauh lebih rendah, yaitu hanya sekitar 46% dibandingkan dengan
negara Thailand (75%) dan Bangladesh (63%). Semua fenomena tersenut jelas
menggambarkan bagaimana mirisnya kondisi kesehatan masyarakat Indonesia. Bukan hanya
itu, dibalik fenomena tersebut pihak industri rokok sedang bersenang-senang
menikmati keuntungan yang sangat berlimpah dari pera konsumen rokok. Sepertinya
Indonesia akan menjadi surga bagi industri rokok, namun menjadi sampah nikotin
dunia dan jeruji besi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang
sudah terjerat katanya ‘kenikmatan’ rokok yang notabene hanya sepercik ‘fatamorgana’.
Pihak
industri rokok menggunakan berbagai macam cara untuk mempertahankan status
quo-nya di Indonesia. Melalui berbagai inovasi dan metode kreatif produk tembakau
bernama rokok terus dilakukan dan dipromosikan kepada masyarakat, terutama
anak-anak muda. Saat ini banyak tools media yang mereka gunakan antara lain lewat
music, film, dan berbagai hal lain.
Di
Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya
langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsungnya karena hilangnya
produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar
atau Rp. 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih
tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp. 32,6 Triliun atau US $3,62 Milyar tahun
2005 (1US =Rp. 8.500).
Bercermin
kembali dengan Indonesia, bumi pertiwi lita jelas terusik dengan keberadaan
industri rokok dan merebaknya produk rokok di seantero jagad nnusantara ini. Namun
jika kita menganalisis lebih jauh, memilah kejadian terkait hal ini satu per
satu, maka akar dari permasalahan ini adalah belum adanya regulasi yang tegas
dan mengikat terkait hal ini disamping melemahnya pilitical will dari
pemerintah kita yang entah sebanarnya berpihak kepada siapa.
Para
aktivis anti rokok, LSM, dan mahasiswa tidak lantas diam dengan hal ini. Mereka
terus mendorong pemerintah untuk akhirnya membentuk regulasi segera untuk
menekan dan mengandalikan produk tembakau berupa rokok yang mengancam kesehatan
masyarakat secara holistik. Dengan tekanan dan berbagai tarik kepentingan yang
ada, akhirnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 mengenai Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan telah
disahakan desember 2012 lalu. Sosialisasi peraturan ini baru dimulai
dilaksanakan, pencerdasan pada masyarakat masih gencar dilakukan. Peraturan ini
dianggap sebagai langkah awal pengendalian tembakau di Indonesia untuk
peningkatan status kesehatan masyarakat.
Sayangnya
tiba-tiba muncullah RUU Pertembakauan yang masuk ke dalam Prolegnas 2013 tanpa
kejelasan siapa yang mengajukan. RUU Pertembakauan ini disinyalir sebagai
titipan dari industri rokok asing yang ingin menjagal regulasi pengendalian
tembakau di Indonesia. Masuknya RUU Pertembakauan ini tanpa dilengkapi naskah
akademik dan tanpa konsideran (payung hukum) apapun, semakin menguatkan
kecurigaan mengenai kecurangan yang mungkin terjadi. Mengapa RUU yang tidak
memiliki naskah akademik dan payung hukum yang jelas bisa mudah masuk ke dalam prolegnas dalam
waktu yang sangat singkat?. Sedangkan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau
Terhadap Kesehatan (RUU PDPTK) yang telah diajukan sejak 2006 masi berada di “daftar
tunggu” meskipun awalnya RUU PDPTK disetujui oleh semua fraksi di DPR.
Substansi
RUU Pertembakauan yang misterius ini sarat dengan masalah. Mulai dari judulnya
saja telah banyak yang mengandung pertannyaan. Judul “Pertembakauan” seharusnya
membahas masalah pertembakauan dari sektor hulu sampai hilir, sayangnya RUU ini
hanya membahas mengenai perindustrian dan perniagaan tembakau dengan
mengesampingkan aspek kesehatan. Bahkan, RUU Pertembakauan ini berusaha
menghapuskan pasal-pasal daaalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
mengatur mengenai pengendalian zay adiktif. Padahal, pasal-pasal tersebut
merupakan payung hukum PP No. 109 tahun 2012. Jelas, kesehatan Indonesia sedang
diancam oleh RUU Pertembakauan ini.
Bukan
hanya kesehatan, RUU Pertembakauan ini juga akan merugikan petani tembakau dan
industri rokok lokal. Peraturan impor tembakau yang sangat longgar akan
semakinmenekan kesejahteraan petani tembakau. Masalah pertembakauan tidak hanya
menjadi masalah kesehatan, tetapi juga berdampak pada ekonomi dan kualitas SDM
(mengancam investasi) untuk pembangunan bangsa Indonesia ke depan.
Berawal
dari upaya ratifikasi FCTC (Framework Convention Tobacco Control) yang belum
juga diratifikasi sampai saat ini, hilangnya pasal tentang rokok pada Undang-Undang
Kesehatan, RUU PDPTK yang saat ini masih diendapkan, kemudian terbit PP No.109
Tahun 2012 namun terancam oleh hadirnya RUU pertembakauan di prolegnas 2013. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa bangsa ini tidak benar-benar serius ingin
melindungi warga negaranya dari ancaman dampak dan bahaya rokok. Negara ini
lebih senang rakyatnya membeli dan konsumen langganan industri rokok agar
petinggi dapat menikmati hasilnya dan rakyat miskin harus terhimpit candu
rokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar